Sabtu, 28 September 2019

Rumah tangga yang memaknai pernikahan


Efesus 5:22-33

Saudara yang diberkati Tuhan Yesus Kristus,,,
Saya minta tolong kepada majelis jemaat agar microphone dapat diberikan kepada kedua mempelai, karena ada pertanyaan yang hendak saya tanyakan kepada kedua mempelai.

Apa harapan saudara berdua dengan penikahan yang saudara berdua putuskan untuk berada pada pemberkatan nikah kudus saat ini?
Di silahkan kepada mempelai laki-laki dan perempuan!
Sebagai seorang hamba Tuhan yang akan melayankan pemberkatan nikah saudara berdua, harapan saya terhadap pernikahan saudara berdua adalah kalau bisa pernikahan saudara berdua menjadi sebuah pernikahan yang harmonis sebagaimana seperti yang diucapkan oleh Marvey Kaya dalam sebuah lirik lagunya........
“se paleng bae, par beta sio nyong manis ee,
Paleng mangarti beta pung hidop ini,,,
Se paleng bae, dangke par samua yang se kasih,
Mau deng ale saribu taong lagi....”

Lirik lagu tadi sekaligus menjadi doa dan harapan bukan saja saya, tapi doa dan harapan dari semua orang hadir dalam ibadah pemberkatan saudara berdua, termasuk tentunya harapan saudara berdua yang mempunyai pernikahan ini.

Tapi sayang sekali, bahwa banyak kenyataan di sekeliling kita memperlihatkan bahwa tak sedikit rumah tangga – rumah tangga Kristen tak bertahan sampai Opa-Oma. Ada pernikahan Kristen yang hanya sebatas usia anak2 Indria. Dua, tiga baru menikah tahun selesai (cerai)!
Tentu ini merupakan tantangan bagi sebuah pernikahan Kristen. Sebab menikah bukan berarti tak akan pernah kita jumpai masalah di dalam rumah tangga pernikahan. Jangankan saya yang baru 3 tahun 8 bulan membina rumah tangga pernikahan saya, ibu bapak yang belasan dan puluhan tahun menikah pun, tentu tidak luput dari masalah dalam keluarga antara suami dan istri hingga saat ini.
Pernikahan yang ribut dan bertengkar adalah pernikahan yang wajar, sebab meski pernikahan itu dikuduskan oleh Allah lewat pemberkatan nikah kudus, perjalanan rumah tangga pernikahan kudus itu tidak berlangsung di sorga,melainkan di dunia yang penuh dengan pencobaan, godaan dan tantangan dunia. Menjadi tidak wajar sebuah pernikahan tersebut, jikalau dalam pernikahan itu setiap saat selalu bertengkar dan menyulut masalah dalam pernikahan tersebut.
Saudara-saudara,,, Penulis surat Efesus memberikan resep kepada saudara dan saya, terkhusus kepada kedua saudara yang akan diberkati nikahnya pada saat ini. Bagaimana bia mempertahankan rumah tangga pernikahan itu menjadi langgeng sampai usia Opa-Oma.
Ayat 22 “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.
Kalau bicara tentang tunduk itu berarti tentang sikap patuh tanpa melawan. Tunduk kepada suami berarti tidak membantah perkataan suami di dalam keluarga. Masalah yang muncul sebagai akibat dari perintah tunduk seorang istri kepada suami di rumah adalah dapat berupa sebuah tindakan praktek kekerasan sebagai bentuk penyimpangan struktural di dalam sebuah keluarga. Seorang suami berpeluang untuk menindas istrinya di rumah sebab kewaiban dari seorang istri adalah patuh dan tunduk.
Saya kira penyimpangan kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga pernikahan Kristen adalah bias dari perintah ayat ini. Sehingga ada istri-istri yang hanya bersikap pasrah di dalam keluarganya ketika menghadapi sikap seorang suami yang keliru.
Perempuan-perempuan di dalam rumah tangga Kristen harus menjadi Istri yang tangguh. Termasuk bersikap perkasa menghadapi suami sebagai mitra dalam membangun rumah tangga. Perkasa artinya cerdas, cerdik, dan berhikmat, sebab seorang istri adalah mitra yang sejajar dengan suami di dalam membangun rumah tangga keluarganya.
Ketika Penulis surat Efesus memerintahkan dalam ayat ini bahwa hai istri-istri tunduklah kepada suamimu, hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai tunduk dalam sikap pasrah dan tak berdaya pada sikap suami yang melahirkan kekesalan di hati kita sebagai istri. Kalimat ini merupakan sebuah nasihat dari penulis surat Efesus yang disampaikan dalam rangka untuk membedakan karakteristik keluarga-keluarga Kristen dengan keluarga-keluarga non-Kristen yang berada di kota Efesus.
Efesus merupakan sebuah kota yang berbudaya amburadul. Dalam konteks pernikahan, penduduk kota ini banyak mempraktekkan pelacuran dan perzinahan, sebagaimana dewi Arthemis yang merupakan dewi bagi kepercayaan mayoritas penduduk Efesus. Sehingga hal tersebut menjadi masalah besar bagi pasangan-pasangan yang telah menikah. Keributan di antara pasangan nikah yang berada di kota Efesus seolah menjadi sesuatu yang lazim. Suami istri yang bertengkar tidak lagi menaruh perasaan saling menghargai dan menaruh hormat. Kesadaran untuk menghargai pasangan nikah dalam keluarga telah hilang. Sehingga ketidak-moralan menjadi rumah ketidak-beradab-an bagi banyak keluarga di Efesus.
Penulis Surat Efesus menasehati keluarga-keluarga Kristen yang berada di Efesus agar mereka dapat membuat hal yang berbeda dari kebiasaan yang telah lazim di kota Efesus. Setiap keluarga Kristen dihimbaukan agar dapat hidup dengan memperlihatkan kasih serta perasaan saling menghargai satu terhadap lain. Setiap keluarga Kristen di Efesus harus bisa menaruh rasa hormat kepada pasangan nikahnya sehingga rumah tangga mereka tidak menjadi rumah tangga yang kacau seperti keluarga-keluarga umumnya di kota Efesus.
APLIKASI
Sebuah pernikahan tentu akan ditantang dengan persoalan2 di dalam membangun rumah tangganya, karena adanya perbedaan-perbedaan persepsi atau ideologi di antara suami dan istri. Terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, keluarga Kristen dapat mempraktekkan sikap saling menghargai satu terhadap yang lain, dan itu dapat diperlihatkan dengan bersikap tenang, sabar, yang dalam istilah Efesus 5:22 adalah “tunduk.”

Nah, terhadap sikap tunduk ini, maka suami-suami mesti memahaminya bukan sebagai peluang memperlakukan istri di rumah tidak sebagai seorang teman hidup. Yang dikasari, ditekan, dicaci maki, sehingga melahirkan kekerasan di dalam rumah tangga.
Rumah tangga Kristen akan mudah hancur ketika salah satu pasangan nikah, baik suami atau istri terlalu menunjukkan dominasi kekuasaannya sebagai kaum terkuat dalam keluarga, sehingga berdampak pada subordinasi salah satu pasangan yang lain dalam pernikahan mereka. Oleh sebab itu baik suami atau istri harus bisa memperlihatkan diri sebagai mitra yang sejajar, sehingga tidak ada siapa yang besar dan siapa yang kecil. Pernikahan akan menjadi subur dan harmonis jika sebagai suami dan istri dapat saling menghargai kewajiban yang mesti dilakukan oleh masing-masing di dalam keluarganya. Ketika istri bersikap tunduk dan menaruh hormat kepada suami di rumah, maka sebagai suami kita pun harus dapat menyeimbangkan sikap istri tersebut kepada kita. sehingga keduanya dapat saling memahami dan menghargai satu terhadap lain. Sikap suami kepada istri adalah seperti yang tercatat di dalam ayat 25
Ayat 25 “Hai suami , kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.
Istilah kasih yang digunakan penulis dalam ayat 25 ini menggunakan kata Yunani agapate, dar akar kata “aggapao” yang menunjuk pada pengertian kasih agape.
Dalam istilah Yunani, Paulus mengajarkan ada 4 jenis kasih, yakni; agape, philo, storge dan eros. Di antara ke empat kasih ini; Penulis surat Efesus menghimbau agar suami Kristen di kota Efesus wajib mengasihi istri mereka dengan kasih agape, di mana kasih agape adalah kasih yang tidak menuntut hormat, kasih yang tulus, dan tidak mengingat kesalahan masa lalu, seperti Allah mengasihi saudara dan saya tanpa memperhitungkan dosa masa lalu kita.
Hai suami, kasihilah istrimu!!!
Bicara tentang mengasihi istri itu juga ujian dan tantangan bagi suami-suami di rumah. Sebab adakalanya istri-istri yang Tuhan percayakan sebagai pendamping hidup ini, sesekali mereka juga membuat hati para suami kesal dengan sikap dan perilaku mereka. Mungkin malas masaknya, mungkin hobi belanja onlinenya, mungkin malas memperhatikan kebersihan rumah, dan masih banyak lagi.
Itu berarti setiap orang mempunyai kekurangan. Dan terhadap kekurangan mereka kita harus bisa menerima dan mengasihi tanpa mengungkit kekurangan mereka dalam pandangan mata kita. mengasihi mereka dengan kasih agape, artinya menerima kekurangan mereka tanpa syarat. Sebab pernikahan adalah ruang membelajarkan diri guna saling menerima kekurangan satu terhadap lain sehingga menjadi satu.
Penulis Efesus menggunakan kasih agape agar mereka dapat memahami arti dari teman hidup dalam bingkai pernikahan. Ketika kita menemukan hal yang tidak kita sukai dalam diri pasangan nikah kita, maka sepantasnya kita dapat menerima dia bukan menceraikan dia. Sebab pernikahan adalah wadah untuk membangun perbedaan di antara dua pribadi yang berbeda, termasuk dalam hal kelebihan dan kekurangan.
Penulis surat Efesus menggunakan istrilah agape, supaya kedua pribadi sebagai pasangan nikah tersebut dapat saling melengkapi. Melengkapi yang kurang dari suami, dan melengkapi yang kurang dari istri. Percayalah, jikalau saudara berdua dapat saling menerima kekurangan satu terhadap yang lain, maka saudara berdua akan saling mengagumi satu terhadap lain. “Betapa dia bisa menerimaku apa adanya.” “Betapa dia tidak mempersoalkan masalah dalam diriku.” Dan terakhir akan ada perkataan doa yang keluar dari mulut saudara berdua kepada Allah, “dangke Tuhan Yesus, telah memberikan dia kepada saya sebaagi suami, sebagai istri saya.” Maka dengan begitu, pernikahan ini akan menjadi langgeng sampai Opa Oma. Tuhan Yesus berkati, amin!

Dikhotbahkan pada Pemberkatan Nikah Kudus Setyus Pangala & SIska Dita.

Lokasi : Gereja Central Buli, Jemaat GMIH Mawlango
Sabtu, 28 September 2019
Oleh : Pdt. D. Wattimena, S.Th

Tidak ada komentar:

Posting Komentar