Hakim-hakim 11:1-11
JEMAAT GMIH MAWLANGO – BULI KOTA
Sehebat-hebat
apapun manusia, pasti saja ada kekurangan di dalam dirinya. Inilah yang dialami
oleh Yefta. Alkitab mencatat bahwa Yefta merupakan seorang pahlawan gagah
perkasa. Dan di dalam sejarah Israel sebelum ada raja-raja, Yefta merupakan
seorang hakim yang dapat disejajarkan dengan seorang raja dalam menjalankan
sebuah tugas kepemimpinan. Pengalaman kehidupan Yefta sebagai seorang manusia,
bukanlah sebuah kehidupan yang menyenangkan. Sebab status diri yang terlahir
dari rahim seorang perempuan sundal, menyebabkan hidup yang dilalui oleh Yefta
senantiasa dihiasi dengan ejekan, hinaan serta perlakuan dipandang rendah oleh
orang-orang di sekitarnya.
Tentu
jika pengalaman hidup Yefta dialami oleh kita, tidak satu pun dari kita yang
dapat menikmati kehidupan seperti itu. Disebut sebagai anak “haram” saja,
kalimat tersebut sudah sangat menyakitkan perasaan kita. Apalagi jika label
sebagai anak pelacur dilekatkan pada diri kita. Batin kita pasti mengamuk, dan
tentu kita pasti akan menyalahkan hari kelahiran kita, atau juga menyalahkan
ayah dan ibu yang menyebabkan kita dilahirkan ke dalam dunia ini.
Karena
sakit hati dan perasaan yang terluka itulah, Yefta melarikan diri ke tanah Tob,
serta hidup dengan orang-orang yang juga mengalami kekecewaan di dalam
kehidupan mereka. Namun Alkitab mencatat bahwa meski di tanah Tob Yefta tinggal
bersama orang-orang tersebut, Yefta tidak tenggelam dalam perasaan sakit hati
yang lama dan berkepanjangan. Yefta melupakan sakit hati yang pernah dirasakan
dari perlakuan kakak-kakak tirinya.
Saudara,
pengalaman kehidupan Yefta adalah gambaran kehidupan kita di dunia ini sebagai
orang Kristen. Baik ketika kita berada di dalam kehidupan rumah tangga kita, atau
ketika kita berada di dalam dunia pelayanan bergereja dan berjemaat selaku
orang percaya. Dalam memerankan status sebagai orang percaya, tak jarang kita
diperhadapkan dengan perlakuan-perlakuan orang di sekitar kita yang membuat
hati dan perasaan menjadi terluka. Kita senantiasa hidup mendengar
perkataan-perkataan yang mengalimatkan kata-kata pedas, sindiran, hinaan, serta
kata-kata makian yang bukan hanya menyakitkan hati kita tapi juga merendahkan
harga diri kita.
Saudara,
pengalaman banyak orang Kristen mengungkapkan bahwa ketika mereka terluka
perasaan, hati mereka menjadi sangat sakit, dan dari rasa sakit itu lahir rasa
kebencian pada mereka yang melukai perasaan kita. Sehingga dalam menjalin
sebuah kebersamaan, baik di rumah, baik di masyarakat, dan bahkan di dalam
bergereja dan berjemaat serta berkantor di temat kerja, ada jarak yang kita
buat dengan orang-orang tersebut. Alkitab mencatat bahwa Yefta meninggalkan dan
melupakan perlakuan jahat saudara-saudaranya kepada dirinya. Itu berarti,
perilaku yang diperlihatkan Yefta hendak menyarakan bahwa sesakit apapun orang
berbuat jahat dan melukai perasaan, kita harus dapat mengasihi. Sebab
memelihara kepahitan di hati tidak akan pernah menghapus memori pahit masa
lalu.
Maka,
jika kita memiliki pengalaman pahit dari orangtua, suami, anak, ipar, tiopo,
mertua. Janganlah membiar pengalaman tersebut menghentikan langkah kaki kita
untuk menabur kasih dan kebaikan.
Yefta
saat mengalami sakit hati pernah melarikan diri ke tanah Tob, yakni sebuah
rumah bagi orang-orang yang hidup dalam perasaan tertolak dan kepahitan. Tapi
Alkitab menulis bahwa Yefta “pergi” meninggalkan tanah itu, lalu menuju ke
Gilgal untuk membawa seluruh perkaranya di hadapan Allah. Maka jika kita
memiliki pengalaman kehidupan yang menyakitkan, bawalah semua pergumulan di
hati kita dalam doa kepada Tuhan. Tuhan Yesus memberkati orang percaya dalam
rumah tangga Kristen. Amin! (DW)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar