Rabu, 25 September 2019

RENUNGAN RUMAH TANGGA


Hakim-hakim 11:1-11
JEMAAT GMIH MAWLANGO – BULI KOTA

Sehebat-hebat apapun manusia, pasti saja ada kekurangan di dalam dirinya. Inilah yang dialami oleh Yefta. Alkitab mencatat bahwa Yefta merupakan seorang pahlawan gagah perkasa. Dan di dalam sejarah Israel sebelum ada raja-raja, Yefta merupakan seorang hakim yang dapat disejajarkan dengan seorang raja dalam menjalankan sebuah tugas kepemimpinan. Pengalaman kehidupan Yefta sebagai seorang manusia, bukanlah sebuah kehidupan yang menyenangkan. Sebab status diri yang terlahir dari rahim seorang perempuan sundal, menyebabkan hidup yang dilalui oleh Yefta senantiasa dihiasi dengan ejekan, hinaan serta perlakuan dipandang rendah oleh orang-orang di sekitarnya.

Tentu jika pengalaman hidup Yefta dialami oleh kita, tidak satu pun dari kita yang dapat menikmati kehidupan seperti itu. Disebut sebagai anak “haram” saja, kalimat tersebut sudah sangat menyakitkan perasaan kita. Apalagi jika label sebagai anak pelacur dilekatkan pada diri kita. Batin kita pasti mengamuk, dan tentu kita pasti akan menyalahkan hari kelahiran kita, atau juga menyalahkan ayah dan ibu yang menyebabkan kita dilahirkan ke dalam dunia ini.

Karena sakit hati dan perasaan yang terluka itulah, Yefta melarikan diri ke tanah Tob, serta hidup dengan orang-orang yang juga mengalami kekecewaan di dalam kehidupan mereka. Namun Alkitab mencatat bahwa meski di tanah Tob Yefta tinggal bersama orang-orang tersebut, Yefta tidak tenggelam dalam perasaan sakit hati yang lama dan berkepanjangan. Yefta melupakan sakit hati yang pernah dirasakan dari perlakuan kakak-kakak tirinya.

Saudara, pengalaman kehidupan Yefta adalah gambaran kehidupan kita di dunia ini sebagai orang Kristen. Baik ketika kita berada di dalam kehidupan rumah tangga kita, atau ketika kita berada di dalam dunia pelayanan bergereja dan berjemaat selaku orang percaya. Dalam memerankan status sebagai orang percaya, tak jarang kita diperhadapkan dengan perlakuan-perlakuan orang di sekitar kita yang membuat hati dan perasaan menjadi terluka. Kita senantiasa hidup mendengar perkataan-perkataan yang mengalimatkan kata-kata pedas, sindiran, hinaan, serta kata-kata makian yang bukan hanya menyakitkan hati kita tapi juga merendahkan harga diri kita.

Saudara, pengalaman banyak orang Kristen mengungkapkan bahwa ketika mereka terluka perasaan, hati mereka menjadi sangat sakit, dan dari rasa sakit itu lahir rasa kebencian pada mereka yang melukai perasaan kita. Sehingga dalam menjalin sebuah kebersamaan, baik di rumah, baik di masyarakat, dan bahkan di dalam bergereja dan berjemaat serta berkantor di temat kerja, ada jarak yang kita buat dengan orang-orang tersebut. Alkitab mencatat bahwa Yefta meninggalkan dan melupakan perlakuan jahat saudara-saudaranya kepada dirinya. Itu berarti, perilaku yang diperlihatkan Yefta hendak menyarakan bahwa sesakit apapun orang berbuat jahat dan melukai perasaan, kita harus dapat mengasihi. Sebab memelihara kepahitan di hati tidak akan pernah menghapus memori pahit masa lalu.

Maka, jika kita memiliki pengalaman pahit dari orangtua, suami, anak, ipar, tiopo, mertua. Janganlah membiar pengalaman tersebut menghentikan langkah kaki kita untuk menabur kasih dan kebaikan.
Yefta saat mengalami sakit hati pernah melarikan diri ke tanah Tob, yakni sebuah rumah bagi orang-orang yang hidup dalam perasaan tertolak dan kepahitan. Tapi Alkitab menulis bahwa Yefta “pergi” meninggalkan tanah itu, lalu menuju ke Gilgal untuk membawa seluruh perkaranya di hadapan Allah. Maka jika kita memiliki pengalaman kehidupan yang menyakitkan, bawalah semua pergumulan di hati kita dalam doa kepada Tuhan. Tuhan Yesus memberkati orang percaya dalam rumah tangga Kristen. Amin! (DW)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar