Sabtu, 28 September 2019

Rumah tangga yang memaknai pernikahan


Efesus 5:22-33

Saudara yang diberkati Tuhan Yesus Kristus,,,
Saya minta tolong kepada majelis jemaat agar microphone dapat diberikan kepada kedua mempelai, karena ada pertanyaan yang hendak saya tanyakan kepada kedua mempelai.

Apa harapan saudara berdua dengan penikahan yang saudara berdua putuskan untuk berada pada pemberkatan nikah kudus saat ini?
Di silahkan kepada mempelai laki-laki dan perempuan!
Sebagai seorang hamba Tuhan yang akan melayankan pemberkatan nikah saudara berdua, harapan saya terhadap pernikahan saudara berdua adalah kalau bisa pernikahan saudara berdua menjadi sebuah pernikahan yang harmonis sebagaimana seperti yang diucapkan oleh Marvey Kaya dalam sebuah lirik lagunya........
“se paleng bae, par beta sio nyong manis ee,
Paleng mangarti beta pung hidop ini,,,
Se paleng bae, dangke par samua yang se kasih,
Mau deng ale saribu taong lagi....”

Lirik lagu tadi sekaligus menjadi doa dan harapan bukan saja saya, tapi doa dan harapan dari semua orang hadir dalam ibadah pemberkatan saudara berdua, termasuk tentunya harapan saudara berdua yang mempunyai pernikahan ini.

Tapi sayang sekali, bahwa banyak kenyataan di sekeliling kita memperlihatkan bahwa tak sedikit rumah tangga – rumah tangga Kristen tak bertahan sampai Opa-Oma. Ada pernikahan Kristen yang hanya sebatas usia anak2 Indria. Dua, tiga baru menikah tahun selesai (cerai)!
Tentu ini merupakan tantangan bagi sebuah pernikahan Kristen. Sebab menikah bukan berarti tak akan pernah kita jumpai masalah di dalam rumah tangga pernikahan. Jangankan saya yang baru 3 tahun 8 bulan membina rumah tangga pernikahan saya, ibu bapak yang belasan dan puluhan tahun menikah pun, tentu tidak luput dari masalah dalam keluarga antara suami dan istri hingga saat ini.
Pernikahan yang ribut dan bertengkar adalah pernikahan yang wajar, sebab meski pernikahan itu dikuduskan oleh Allah lewat pemberkatan nikah kudus, perjalanan rumah tangga pernikahan kudus itu tidak berlangsung di sorga,melainkan di dunia yang penuh dengan pencobaan, godaan dan tantangan dunia. Menjadi tidak wajar sebuah pernikahan tersebut, jikalau dalam pernikahan itu setiap saat selalu bertengkar dan menyulut masalah dalam pernikahan tersebut.
Saudara-saudara,,, Penulis surat Efesus memberikan resep kepada saudara dan saya, terkhusus kepada kedua saudara yang akan diberkati nikahnya pada saat ini. Bagaimana bia mempertahankan rumah tangga pernikahan itu menjadi langgeng sampai usia Opa-Oma.
Ayat 22 “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.
Kalau bicara tentang tunduk itu berarti tentang sikap patuh tanpa melawan. Tunduk kepada suami berarti tidak membantah perkataan suami di dalam keluarga. Masalah yang muncul sebagai akibat dari perintah tunduk seorang istri kepada suami di rumah adalah dapat berupa sebuah tindakan praktek kekerasan sebagai bentuk penyimpangan struktural di dalam sebuah keluarga. Seorang suami berpeluang untuk menindas istrinya di rumah sebab kewaiban dari seorang istri adalah patuh dan tunduk.
Saya kira penyimpangan kekerasan yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga pernikahan Kristen adalah bias dari perintah ayat ini. Sehingga ada istri-istri yang hanya bersikap pasrah di dalam keluarganya ketika menghadapi sikap seorang suami yang keliru.
Perempuan-perempuan di dalam rumah tangga Kristen harus menjadi Istri yang tangguh. Termasuk bersikap perkasa menghadapi suami sebagai mitra dalam membangun rumah tangga. Perkasa artinya cerdas, cerdik, dan berhikmat, sebab seorang istri adalah mitra yang sejajar dengan suami di dalam membangun rumah tangga keluarganya.
Ketika Penulis surat Efesus memerintahkan dalam ayat ini bahwa hai istri-istri tunduklah kepada suamimu, hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai tunduk dalam sikap pasrah dan tak berdaya pada sikap suami yang melahirkan kekesalan di hati kita sebagai istri. Kalimat ini merupakan sebuah nasihat dari penulis surat Efesus yang disampaikan dalam rangka untuk membedakan karakteristik keluarga-keluarga Kristen dengan keluarga-keluarga non-Kristen yang berada di kota Efesus.
Efesus merupakan sebuah kota yang berbudaya amburadul. Dalam konteks pernikahan, penduduk kota ini banyak mempraktekkan pelacuran dan perzinahan, sebagaimana dewi Arthemis yang merupakan dewi bagi kepercayaan mayoritas penduduk Efesus. Sehingga hal tersebut menjadi masalah besar bagi pasangan-pasangan yang telah menikah. Keributan di antara pasangan nikah yang berada di kota Efesus seolah menjadi sesuatu yang lazim. Suami istri yang bertengkar tidak lagi menaruh perasaan saling menghargai dan menaruh hormat. Kesadaran untuk menghargai pasangan nikah dalam keluarga telah hilang. Sehingga ketidak-moralan menjadi rumah ketidak-beradab-an bagi banyak keluarga di Efesus.
Penulis Surat Efesus menasehati keluarga-keluarga Kristen yang berada di Efesus agar mereka dapat membuat hal yang berbeda dari kebiasaan yang telah lazim di kota Efesus. Setiap keluarga Kristen dihimbaukan agar dapat hidup dengan memperlihatkan kasih serta perasaan saling menghargai satu terhadap lain. Setiap keluarga Kristen di Efesus harus bisa menaruh rasa hormat kepada pasangan nikahnya sehingga rumah tangga mereka tidak menjadi rumah tangga yang kacau seperti keluarga-keluarga umumnya di kota Efesus.
APLIKASI
Sebuah pernikahan tentu akan ditantang dengan persoalan2 di dalam membangun rumah tangganya, karena adanya perbedaan-perbedaan persepsi atau ideologi di antara suami dan istri. Terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, keluarga Kristen dapat mempraktekkan sikap saling menghargai satu terhadap yang lain, dan itu dapat diperlihatkan dengan bersikap tenang, sabar, yang dalam istilah Efesus 5:22 adalah “tunduk.”

Nah, terhadap sikap tunduk ini, maka suami-suami mesti memahaminya bukan sebagai peluang memperlakukan istri di rumah tidak sebagai seorang teman hidup. Yang dikasari, ditekan, dicaci maki, sehingga melahirkan kekerasan di dalam rumah tangga.
Rumah tangga Kristen akan mudah hancur ketika salah satu pasangan nikah, baik suami atau istri terlalu menunjukkan dominasi kekuasaannya sebagai kaum terkuat dalam keluarga, sehingga berdampak pada subordinasi salah satu pasangan yang lain dalam pernikahan mereka. Oleh sebab itu baik suami atau istri harus bisa memperlihatkan diri sebagai mitra yang sejajar, sehingga tidak ada siapa yang besar dan siapa yang kecil. Pernikahan akan menjadi subur dan harmonis jika sebagai suami dan istri dapat saling menghargai kewajiban yang mesti dilakukan oleh masing-masing di dalam keluarganya. Ketika istri bersikap tunduk dan menaruh hormat kepada suami di rumah, maka sebagai suami kita pun harus dapat menyeimbangkan sikap istri tersebut kepada kita. sehingga keduanya dapat saling memahami dan menghargai satu terhadap lain. Sikap suami kepada istri adalah seperti yang tercatat di dalam ayat 25
Ayat 25 “Hai suami , kasihilah istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diriNya baginya.
Istilah kasih yang digunakan penulis dalam ayat 25 ini menggunakan kata Yunani agapate, dar akar kata “aggapao” yang menunjuk pada pengertian kasih agape.
Dalam istilah Yunani, Paulus mengajarkan ada 4 jenis kasih, yakni; agape, philo, storge dan eros. Di antara ke empat kasih ini; Penulis surat Efesus menghimbau agar suami Kristen di kota Efesus wajib mengasihi istri mereka dengan kasih agape, di mana kasih agape adalah kasih yang tidak menuntut hormat, kasih yang tulus, dan tidak mengingat kesalahan masa lalu, seperti Allah mengasihi saudara dan saya tanpa memperhitungkan dosa masa lalu kita.
Hai suami, kasihilah istrimu!!!
Bicara tentang mengasihi istri itu juga ujian dan tantangan bagi suami-suami di rumah. Sebab adakalanya istri-istri yang Tuhan percayakan sebagai pendamping hidup ini, sesekali mereka juga membuat hati para suami kesal dengan sikap dan perilaku mereka. Mungkin malas masaknya, mungkin hobi belanja onlinenya, mungkin malas memperhatikan kebersihan rumah, dan masih banyak lagi.
Itu berarti setiap orang mempunyai kekurangan. Dan terhadap kekurangan mereka kita harus bisa menerima dan mengasihi tanpa mengungkit kekurangan mereka dalam pandangan mata kita. mengasihi mereka dengan kasih agape, artinya menerima kekurangan mereka tanpa syarat. Sebab pernikahan adalah ruang membelajarkan diri guna saling menerima kekurangan satu terhadap lain sehingga menjadi satu.
Penulis Efesus menggunakan kasih agape agar mereka dapat memahami arti dari teman hidup dalam bingkai pernikahan. Ketika kita menemukan hal yang tidak kita sukai dalam diri pasangan nikah kita, maka sepantasnya kita dapat menerima dia bukan menceraikan dia. Sebab pernikahan adalah wadah untuk membangun perbedaan di antara dua pribadi yang berbeda, termasuk dalam hal kelebihan dan kekurangan.
Penulis surat Efesus menggunakan istrilah agape, supaya kedua pribadi sebagai pasangan nikah tersebut dapat saling melengkapi. Melengkapi yang kurang dari suami, dan melengkapi yang kurang dari istri. Percayalah, jikalau saudara berdua dapat saling menerima kekurangan satu terhadap yang lain, maka saudara berdua akan saling mengagumi satu terhadap lain. “Betapa dia bisa menerimaku apa adanya.” “Betapa dia tidak mempersoalkan masalah dalam diriku.” Dan terakhir akan ada perkataan doa yang keluar dari mulut saudara berdua kepada Allah, “dangke Tuhan Yesus, telah memberikan dia kepada saya sebaagi suami, sebagai istri saya.” Maka dengan begitu, pernikahan ini akan menjadi langgeng sampai Opa Oma. Tuhan Yesus berkati, amin!

Dikhotbahkan pada Pemberkatan Nikah Kudus Setyus Pangala & SIska Dita.

Lokasi : Gereja Central Buli, Jemaat GMIH Mawlango
Sabtu, 28 September 2019
Oleh : Pdt. D. Wattimena, S.Th

Rabu, 25 September 2019

Berhati Yefta!


Hakim-hakim 11:1-11

Nas : “TUHAN membangun Yerusalem, Ia mengumpulkan orang-orang Israel yang tercerai-berai; Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka” (Mazmur 147:2-3)
Saudara jemaat yang diberkati Yesus Kristus,,,
Setiap orang secantik dan setampan apapun dia, pasti memiliki kekurangan di dalam dirinya. Ayat 1 menulis: “adapun Yefta, orang Gilead itu, adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa, tetapi ia anak seorang perempuan sundal.
Ada informati lebih lanjut tentang siapa itu Yefta? Dia adalah seorang anak yang dilahirkan dari seorang perempuan sundal. Dia anak seorang pelacur. Menyandang identitas sebagai seorang anak pelacur inilah yang membuat Yefta diusir oleh saudara-saudaranya yang lain. Saya kira kita bisa membayangkan bagaimana perasaan Yefta yang diusir oleh saudara-saudaranya yang lain. Tentu sebelum Yefta diusir, dirinya diolok-olok oleh saudara-saudaranya yang lain, dia dijadikan bahan tertawaan, hinaan, dan lain sebagainya; saudara-saudara tirinya menganggap rendah dirinya. Dan sebagai anak seorang pelacur Yefta tidak memiliki hak pusaka dalam keluarga mereka, sebab dia bukan anak dari istri yang sah.
Pengalaman yang diamali oleh Yefta, tentu juga merupakan pengalaman yang mungkin pernah, atau sedang kita alami. Mungkin kita tidak ditolak oleh keluarga kita, tapi mungkin saja ada pengalaman-pengalaman diri kita, yang membuat kita mengalami perasaan yang sama sakit hatinya seperti yang dialami oleh Yefta. Ketika Yefta diusir oleh saudara-saudara tirinya, hal itu membuat dirinya menjadi terluka. Apakah ada pengalaman-pengalaman di hari-hari kemarin, yang membuat diri kita menjadi terluka? Apakah ada kejadian-kejadian pada saat-saat ini, yang membuat perasaan kita menjadi sangat sakit?
Saudaraku,,, Saya sangat percaya, setiap orang yang mendengar firman saat ini pernah atau sedang mengalami kejadian-kejadian yang membuat dirinya terkukung dalam perasaan sakit, dan terluka, sehingga dari perasaan itu, ada kepahitan, ada rasa dendam, ada rasa benci, dan rasa memusuhi pada orang-orang tertentu. Kejadian-kejadian seperti itu bukan hanya saudara yang mengalaminya, tapi Yefta telah lebih dahulu mengalaminya.
Kita perhatikan ayat selanjutnya mencatat pada ayat 3 bahwa ketika saudara-saudara tiri Yefta mengusirnya “maka larilah Yefta dan diam di tanah Top; di sana berkumpullah kepadanya petualang-petualang yang pergi merampok bersama-sama dengan dia
Ayat 3 mengatakan ke mana Yefta melarikan diri saat disakiti oleh saudara-saudaranya? Yefta lari ke tanah Top. Tempat ini merupakan tempat orang-orang yang senasib dengan Yefta. Alkitab BIS menyebutkan mereka dengan nama para perampok, namun istilah yang digunakan dalam terjemahan teks Ibrani untuk orang-orang yang merampok ini adalah reqim, Bahasa Inggrisnya Vain, yang berarti orang-orang yang gagal dalam hidupnya. Mereka bukan para perampok, jika kita menafsirkannya secara tepat dari istilah kata Ibraninya (reqim), maka mereka adalah orang-orang yang putus telah putus asa dalam hidupnya, mereka adalah orang-orang yang mengalami kecewa dengan hidupnya.
Nah, Yefta melarikan diri ke sini dan berdiam bersama mereka di tanah Top. Dia hidup dengan orang-orang yang putus asa. Tapi coba kita perhatikan pada ayat selanjutnya, saat para tua-tua dari Gilead menjemput Yefta dari tanah Top, mengajaknya untuk kembali berperang menjadi panglima perang, apa reaksi Yefta?
Ayat 7 memberitahukan kepada kita bahwa Yefta mengingat dan mengungkit masa lalunya dengan kalimat; “Bukankah kamu sendiri membenci aku dan mengusir aku dari keluargaku? Mengapa kamu datang sekarang kepadaku pada waktu kamu terdesak?”
Meski Yefta mengungkit masa lalunya, tapi Yefta tidak melekat di dalam kepahitan masa lalunya. Pada ayat 9 Alkitab mencatat bahwa Yefta segera merespon permintaan para tua-tua Gilead itu dengan pikiran positif, “jadi, jika kmau membawa aku kembali untuk berperang melawan bani Amon, dan Tuhan menyerahkan mereka kepadaku, maka akulah yang akan menjadi kepala atas kamu?
Lewat perkataan ini, Yefta menunjukkan sikapnya sebagai anak Tuhan yang tidak tenggelam dalam kebencian, luka hati, kepahitan, apalagi dendam.
Sebagai anak-anak Tuhan, kita harusnya demikian. Kita tidak hidup di dalam kepahitan. Kita tidak seharusnya memeliharan rasa permusuhan. Kita harus bisa mengampuni. Kita harus bisa menutup pintu dendam kita kepada musuh kita.
Yefta tinggal dengan orang-orang yang putus asa, tapi dia tidak menjadi putus asa, Yefta tinggal dengan orang-orang yang penuh kepahitan, kebencian, permusuhan, rasa kecewa yang dalam pada sesama, tapi dia menjadi orang yang melupakan kebencian, dendam, sakit hati pada saudara-saudara sebangsanya. Sebagai anak-anak Tuhan yang sedang tinggal dalam permusuhan, rasa benci dan kecewa, entah kepada siapa? Orangtua, adik-kakak, sahabat, teman, firman Tuhan mengajak kita untuk segera harus keluarlah dari tempat-tempat seperti itu.
Saudaraku yang diberkati Yesus Kristus,,,
Ayat 1 menulis bahwa Yefta adalah seorang pahlawan gagah perkasa, tetapi ia anak seorang perempuan sundal. Kata “tetapi” pada ayat itu menunjukkan bahwa sehebat-hebatnya Yefta sebagai seorang pahlawan, tetap dirinya memiliki kekurangan dan kelemahan.
Saudaraku,,, semua manusia tanpa terkecuali pasti memiliki kelemahan. Dan satu kesalahan kita sebagai anak-anak Tuhan adalah seringkali kita menuntut oranglain untuk menjadi seperti yang kita inginkan. Dan di saat mereka tidak bisa menjadi seperti yang kita inginkan, maka kita kemudian menanam sakit hati, kebencian, rasa dendam, permusuhan, kepahitan pada hati mereka, lewat perkataan-perkataan kita yang membuat mereka seolah merasa ditolak, tidak diterima, dan sebagainya.
Maka sebagai anak-anak Tuhan, kita harus berhati-hati di dalam mengucapkan perkataan kepada sesama kita; entah di rumah, entah di tempat kerja, entah di dalam hidup bermasyarakat, entah di dalam suatu persekutuan umat dan lainnya.
Saudaraku yang diberkati Yesus Kristus,,,
Satu pertanyaan untuk kita semua? Melepaskan pengampunan pada orang yang telah menanam kepahitan di hati manusia adalah hal yang tidak gampang untuk dilakukan, namun Yefta di dalam pembacaan ini sanggup melakukannya. Apa rahasia yang membuat Yefta sanggup keluar dari tanah Top, tanah yang penuh dengan orang-orang gagal, sakit hati, kecewa, dan lain sebagainya?
Ayat 11: “Tetapi Yefta membawa seluruh perkaranya itu ke hadapan TUHAN, di Mizpa.
Garis bawahi membawa seluruh perkaranya, terjemahan asli teks Ibrani, waydaber Yiptah et kal debaraw lipne Yahweh bamispah (and Jephthah uttered all his words before the Lord at Mizpah = dan Yefta mengucapkan semua perkataannya di hadapan Tuhan di Mizpah)
Sehingga menjadi jelas bahwa membawa seluruh perkara, artinya mengucap semua perkataannya, tentu perkataannya ini menyangkut keluh kesahnya, kekecewaannya, persungutannya, dan lain sebagainya. Semua perkara yang membuat Yefta menjadi kesal, kecewa, dan bersungut dibawa Yefta ke hadapan Tuhan di Mizpa, dia membawanya dalam bentuk sebuah ucapan, yang tentu itu adalah sebuah doa.
Saudaraku yang diberkati Yesus Kristus,,,
Di saat kita dibenturkan dengan masalah, kemanakah kita membawa perkara kita? Ketika persoalan-persoalan itu menyinggung hati kita dan membuat hati kita menjadi tawar, pahit, dan kecewa? Alkitab tidak bilang bahwa Yefta membawa perkara, persoalan, kekecewaan, perasaan sakit hatinya kepada dukun, patung berhala, orang sakti, tetangga, mertua, dan lain sebagainya, tetapi kepada Tuhan. Membawa segala perkara kepada Tuhan adalah hal yang tepat.
Yefta membawa perkara itu dengan mengucapkannya kepada Tuhan,  saat dia mengucapkan perkaranya kepada Tuhan, Tuhan menyelesaikan masalah hatinya.
Saudaraku,,, yang sanggup membuat kita kuat dan mengubah hati kita dalam badai perkara hanyalah doa kepada Tuhan. Amin!

dikhotbahkan oleh Pdt. D. Wattimena, S.Th pada, 11 Agustus 2019 di Jemaat GMIH Mawlango – Buli Kota


RENUNGAN IBADAH RUMAH TANGGA


Lukas 12:13-21
JEMAAT GMIH MAWLANGO – BULI KOTA

Saudara yang diberkati Allah,,,
Menjadi kaya adalah impian semua orang pada umumnya. Meski banyak di antara kita yang tidak kaya-kaya, namun selalu ada usaha untuk bisa menjadi orang yang “kaya”, dalam pengertian bukan sebagai konglomerat, namun setidaknya memiliki uang untuk keperluan membiayai keperluan hidup kita sehari-hari.
Pembacaan firman di sore ini, menampilkan tentang aspek kekayaan. Ada seorang yang berkata kepada Yesus agar kekayaan keluarganya dibagi dua. Dan dari permohonan orang tersebut Yesus kemudian mengatakan bahwa waspadalah terhadap ketamakan. Nasehat Yesus ini merupakan hal penting bagi manusia yang tentu mencari kekayaan guna mencukupkan segala kebutuhan hidupnya.
Tamak berarti keinginan memiliki tanpa ada rasa puas. Dalam konteks kisah orang kaya yang bodoh ini, ketamakan diperlihatkan lewat sikap seorang kaya yang tidak puas mengumpulkan harta benda dan menyimpannya hanya untuk kepentingan pribadinya. Itu berarti orang yang tamak adalah orang tidak bisa melihat kekurangan orang lain dalam hal mencukupkan kebutuhan hidupnya. Nasehat Yesus ini hendak menghimbau kepada semua orang bahwa kekayaan seharusnya bukan dicari atas dasar untuk memenuhi dahaga duniawi manusia yang rakus akan harta benda, tapi kekayaan diusahakan dan dicari manusia semata-mata hanya untuk menopang kebutuhan hidupnya, sehingga tercukuplah apa yang dibuthkannya dalam kehidupan sesehari. Oleh sebab itu, ketika kekayaan yang kita miliki cukup untuk memberkati keperluan hidup kita, maka ketika sisa-sisa berkat dari kekayaan itu masih ada pada perbendaharaan kas rumah tangga kita, sudah seyogianya kita dapat menggunakan kekayaan itu untuk mempermuliakan Allah, lewat sikap yang dermawan.
Sikap dermawan inilah yang dikritisi Yesus dalam perikop pembacaan pada sore ini. Sebab orang-orang kaya pada zaman Yesus berkaya telah mengalami krisis berbelas kasih kepada sesama manusia yang miskin dan hidup berkekurangan. Kaum janda, kaum anak yatim dan piatu, merupakan orang-orang yang membutuhkan sentuhan kasih dari para orang kaya di zaman Yesus melayani, namun perilaku para kalangan orang kaya justru melihat kekayaan hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Apa gunanya kita memiliki pekerjaan yang baik. Apa gunanya setiap bulan kita menerima gaji dari upah pekerjaan kita di setiap bulan? Semua berkat yang kita peroleh tersebut tidaklah bermakna ketika sebagai orang percaya kita miskin terhadap sikap menjadi seorang dermawan. Sehingga, bukan saja kita kikir dan pelit untuk berbagi berkat dengan orang yang berkekurangan, tapi dalam konteks persekutuan sebagai umat Allah, kita pun kikir dan pelit dalam hal memberi di rumah Tuhan. Orang kaya dalam kisah ini disebut bodoh karena sikapnya yang khawatir akan kehabisan harta bendanya daripada kehabisan cinta kasih Tuhan dalam kehidupannya. Amin!

RENUNGAN IBADAH RUMAH TANGGA


Yesaya 5:1-7
JEMAAT GMIH MAWLANGO – BULI KOTA

Kitab Yesaya adalah sebuah kitab yang memuat sejarah kehidupan umat Tuhan bangsa Israel. Yang mana bangsa ini merupakan bangsa yang dipilih oleh Allah sebagai umat yang dikasihiNya.
Saudara-saudara yang dikasihi Tuhan Yesus,,,
Yesaya memperlihatkan bagaimana besarnya kasih Allah kepada mereka, bahwa di dalam ayat 1 perikop bacaan ini, mereka disebut sebagai “kekasih” Allah. Secara khusus, lewat bacaan di perikop ini. Hubungan antara Allah dengan umat yang dikasihiNya tersebut dilukiskan ibarat seorang petani yang setia merawat kebun anggurnya. Sehingga demi mendapatkan hasil panen buah anggur yang baik dan berkualitas, Sang Petani akan melakukan upaya merawat kebun sedemikian guna tanaman di kebunnya terlindung dari gangguan hama.
Namun saudara,,,
Betapa Allah yang begitu mencintai umatNya, kebaikan Allah justru dibalas dengan perilaku yang membuat perasaan Allah menjadi benar-benar kecewa karena sikap hidup umatNya yang tidak taat pada ketetapan Allah. Kita dapat melihat di dalam ayatnya yang ke-7 bahwa mereka lebih mencintai kelaliman daripada mencintai sebuah kebenaran.
Saudara-saudara,,,
Allah menginginkan bahwa umat percayaNya mestilah hidup benar. Mencintai kebenaran artinya gaya hidup sesehari kita berlaku jujur dan bertanggungjawab atas apa yang kita kerjakan atau perbuat.
Orang percaya haruslah hidup dalam kebenaran-kebenaran yang dikehendaki Allah. Dalam konteks kehidupan bersekutu di dalam keluarga kita; maka kita terpanggil membawa keluarga kita pada kehendak Allah yang benar. Sehingga keluarga kita tidak hidup dalam perilaku zalim atau pola hidup yang tidak berbelas kasih dan rasa.
Kejam, tidak adil, dan hidup sewenang-wenang merupakan perilaku yang dilakukan oleh kaum Israel dan orang Yehuda dalam perikop ini. Maka ketika kita dipercayakan Allah dengan otoritas-otoritas tertentu baik dalam hidup berkeluarga, bergereja dan bermasyarakat, berlakulah adil terhadap semua orang. Kita tidak memilih kasih, sehingga melahirkan istilah anak emas dan anak tiri, melainkan semua sama dan tidak ada berbeda.
Selamat hidup dengan melakukan firman Tuhan, Amin! (DW)