Efesus 5:22-33
Saudara
yang diberkati Tuhan Yesus Kristus,,,
Saya minta tolong kepada majelis jemaat agar microphone dapat diberikan
kepada kedua mempelai, karena ada pertanyaan yang hendak saya tanyakan kepada
kedua mempelai.
Apa harapan saudara berdua dengan
penikahan yang saudara berdua putuskan untuk berada pada pemberkatan nikah
kudus saat ini?
Di silahkan kepada mempelai laki-laki
dan perempuan!
Sebagai seorang hamba Tuhan yang akan melayankan pemberkatan nikah
saudara berdua, harapan saya terhadap pernikahan saudara berdua adalah kalau
bisa pernikahan saudara berdua menjadi sebuah pernikahan yang harmonis
sebagaimana seperti yang diucapkan oleh Marvey
Kaya dalam sebuah lirik lagunya........
“se paleng bae, par
beta sio nyong manis ee,
Paleng mangarti beta
pung hidop ini,,,
Se paleng bae, dangke
par samua yang se kasih,
Mau deng ale saribu
taong lagi....”
Lirik lagu tadi sekaligus menjadi doa dan harapan bukan saja saya,
tapi doa dan harapan dari semua orang hadir dalam ibadah pemberkatan saudara
berdua, termasuk tentunya harapan saudara berdua yang mempunyai pernikahan ini.
Tapi sayang sekali, bahwa banyak
kenyataan di sekeliling kita memperlihatkan bahwa tak sedikit rumah tangga –
rumah tangga Kristen tak bertahan sampai Opa-Oma. Ada pernikahan Kristen yang
hanya sebatas usia anak2 Indria. Dua, tiga baru menikah tahun
selesai (cerai)!
Tentu ini merupakan tantangan
bagi sebuah pernikahan Kristen. Sebab menikah bukan berarti tak akan pernah
kita jumpai masalah di dalam rumah tangga pernikahan. Jangankan saya yang baru
3 tahun 8 bulan membina rumah tangga pernikahan saya, ibu bapak yang belasan
dan puluhan tahun menikah pun, tentu tidak luput dari masalah dalam keluarga
antara suami dan istri hingga saat ini.
Pernikahan yang ribut dan
bertengkar adalah pernikahan yang wajar, sebab meski pernikahan itu dikuduskan
oleh Allah lewat pemberkatan nikah kudus, perjalanan rumah tangga pernikahan
kudus itu tidak berlangsung di sorga,melainkan di dunia yang penuh dengan
pencobaan, godaan dan tantangan dunia. Menjadi tidak wajar sebuah pernikahan
tersebut, jikalau dalam pernikahan itu setiap saat selalu bertengkar dan
menyulut masalah dalam pernikahan tersebut.
Saudara-saudara,,, Penulis surat Efesus
memberikan resep kepada saudara dan saya, terkhusus kepada kedua saudara yang
akan diberkati nikahnya pada saat ini. Bagaimana bia mempertahankan rumah
tangga pernikahan itu menjadi langgeng sampai usia Opa-Oma.
Ayat 22 “Hai istri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan.”
Kalau bicara tentang tunduk itu
berarti tentang sikap patuh tanpa melawan. Tunduk kepada suami berarti tidak
membantah perkataan suami di dalam keluarga. Masalah yang muncul sebagai akibat
dari perintah tunduk seorang istri kepada suami di rumah adalah dapat berupa
sebuah tindakan praktek kekerasan sebagai bentuk penyimpangan struktural di dalam
sebuah keluarga. Seorang suami berpeluang untuk menindas istrinya di rumah
sebab kewaiban dari seorang istri adalah patuh dan tunduk.
Saya kira penyimpangan kekerasan
yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga pernikahan Kristen adalah bias dari
perintah ayat ini. Sehingga ada istri-istri yang hanya bersikap pasrah di dalam
keluarganya ketika menghadapi sikap seorang suami yang keliru.
Perempuan-perempuan di dalam
rumah tangga Kristen harus menjadi Istri yang tangguh. Termasuk bersikap
perkasa menghadapi suami sebagai mitra dalam membangun rumah tangga. Perkasa
artinya cerdas, cerdik, dan berhikmat, sebab seorang istri adalah mitra yang
sejajar dengan suami di dalam membangun rumah tangga keluarganya.
Ketika Penulis surat Efesus
memerintahkan dalam ayat ini bahwa hai
istri-istri tunduklah kepada suamimu, hal itu bukanlah dimaksudkan sebagai
tunduk dalam sikap pasrah dan tak berdaya pada sikap suami yang melahirkan
kekesalan di hati kita sebagai istri. Kalimat ini merupakan sebuah nasihat dari
penulis surat Efesus yang disampaikan dalam rangka untuk membedakan
karakteristik keluarga-keluarga Kristen dengan keluarga-keluarga non-Kristen
yang berada di kota Efesus.
Efesus merupakan sebuah kota yang
berbudaya amburadul. Dalam konteks pernikahan, penduduk kota ini banyak
mempraktekkan pelacuran dan perzinahan, sebagaimana dewi Arthemis yang
merupakan dewi bagi kepercayaan mayoritas penduduk Efesus. Sehingga hal
tersebut menjadi masalah besar bagi pasangan-pasangan yang telah menikah.
Keributan di antara pasangan nikah yang berada di kota Efesus seolah menjadi
sesuatu yang lazim. Suami istri yang bertengkar tidak lagi menaruh perasaan
saling menghargai dan menaruh hormat. Kesadaran untuk menghargai pasangan nikah
dalam keluarga telah hilang. Sehingga ketidak-moralan menjadi rumah ketidak-beradab-an
bagi banyak keluarga di Efesus.
Penulis Surat Efesus menasehati
keluarga-keluarga Kristen yang berada di Efesus agar mereka dapat membuat hal
yang berbeda dari kebiasaan yang telah lazim di kota Efesus. Setiap keluarga
Kristen dihimbaukan agar dapat hidup dengan memperlihatkan kasih serta perasaan
saling menghargai satu terhadap lain. Setiap keluarga Kristen di Efesus harus
bisa menaruh rasa hormat kepada pasangan nikahnya sehingga rumah tangga mereka
tidak menjadi rumah tangga yang kacau seperti keluarga-keluarga umumnya di kota
Efesus.
APLIKASI
Sebuah pernikahan tentu akan ditantang dengan persoalan2 di
dalam membangun rumah tangganya, karena adanya perbedaan-perbedaan persepsi
atau ideologi di antara suami dan istri. Terhadap perbedaan-perbedaan tersebut,
keluarga Kristen dapat mempraktekkan sikap saling menghargai satu terhadap yang
lain, dan itu dapat diperlihatkan dengan bersikap tenang, sabar, yang dalam
istilah Efesus 5:22 adalah “tunduk.”
Nah, terhadap sikap tunduk ini,
maka suami-suami mesti memahaminya bukan sebagai peluang memperlakukan istri di
rumah tidak sebagai seorang teman hidup. Yang dikasari, ditekan, dicaci maki,
sehingga melahirkan kekerasan di dalam rumah tangga.
Rumah tangga Kristen akan mudah
hancur ketika salah satu pasangan nikah, baik suami atau istri terlalu
menunjukkan dominasi kekuasaannya sebagai kaum terkuat dalam keluarga, sehingga
berdampak pada subordinasi salah satu pasangan yang lain dalam pernikahan
mereka. Oleh sebab itu baik suami atau istri harus bisa memperlihatkan diri
sebagai mitra yang sejajar, sehingga tidak ada siapa yang besar dan siapa yang
kecil. Pernikahan akan menjadi subur dan harmonis jika sebagai suami dan istri
dapat saling menghargai kewajiban yang mesti dilakukan oleh masing-masing di
dalam keluarganya. Ketika istri bersikap tunduk dan menaruh hormat kepada suami
di rumah, maka sebagai suami kita pun harus dapat menyeimbangkan sikap istri
tersebut kepada kita. sehingga keduanya dapat saling memahami dan menghargai
satu terhadap lain. Sikap suami kepada istri adalah seperti yang tercatat di
dalam ayat 25
Ayat 25 “Hai suami , kasihilah
istrimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan
diriNya baginya.”
Istilah kasih yang digunakan
penulis dalam ayat 25 ini menggunakan kata Yunani agapate, dar akar kata “aggapao” yang menunjuk pada pengertian
kasih agape.
Dalam istilah Yunani, Paulus
mengajarkan ada 4 jenis kasih, yakni; agape,
philo, storge dan eros. Di
antara ke empat kasih ini; Penulis surat Efesus menghimbau agar suami Kristen
di kota Efesus wajib mengasihi istri mereka dengan kasih agape, di mana kasih agape
adalah kasih yang tidak menuntut hormat, kasih yang tulus, dan tidak mengingat
kesalahan masa lalu, seperti Allah mengasihi saudara dan saya tanpa
memperhitungkan dosa masa lalu kita.
Hai suami, kasihilah istrimu!!!
Bicara tentang mengasihi istri
itu juga ujian dan tantangan bagi suami-suami di rumah. Sebab adakalanya
istri-istri yang Tuhan percayakan sebagai pendamping hidup ini, sesekali mereka
juga membuat hati para suami kesal dengan sikap dan perilaku mereka. Mungkin
malas masaknya, mungkin hobi belanja onlinenya, mungkin malas memperhatikan
kebersihan rumah, dan masih banyak lagi.
Itu berarti setiap orang
mempunyai kekurangan. Dan terhadap kekurangan mereka kita harus bisa menerima
dan mengasihi tanpa mengungkit kekurangan mereka dalam pandangan mata kita.
mengasihi mereka dengan kasih agape,
artinya menerima kekurangan mereka tanpa syarat. Sebab pernikahan adalah ruang
membelajarkan diri guna saling menerima kekurangan satu terhadap lain sehingga
menjadi satu.
Penulis Efesus menggunakan kasih agape agar mereka dapat memahami arti
dari teman hidup dalam bingkai pernikahan. Ketika kita menemukan hal yang tidak
kita sukai dalam diri pasangan nikah kita, maka sepantasnya kita dapat menerima
dia bukan menceraikan dia. Sebab pernikahan adalah wadah untuk membangun
perbedaan di antara dua pribadi yang berbeda, termasuk dalam hal kelebihan dan
kekurangan.
Penulis surat Efesus menggunakan
istrilah agape, supaya kedua pribadi
sebagai pasangan nikah tersebut dapat saling melengkapi. Melengkapi yang kurang
dari suami, dan melengkapi yang kurang dari istri. Percayalah, jikalau saudara
berdua dapat saling menerima kekurangan satu terhadap yang lain, maka saudara
berdua akan saling mengagumi satu terhadap lain. “Betapa dia bisa menerimaku
apa adanya.” “Betapa dia tidak mempersoalkan masalah dalam diriku.” Dan
terakhir akan ada perkataan doa yang keluar dari mulut saudara berdua kepada
Allah, “dangke Tuhan Yesus, telah
memberikan dia kepada saya sebaagi suami, sebagai istri saya.” Maka dengan
begitu, pernikahan ini akan menjadi langgeng sampai Opa Oma. Tuhan Yesus
berkati, amin!
Dikhotbahkan pada Pemberkatan Nikah Kudus Setyus Pangala & SIska Dita.
Lokasi : Gereja Central Buli, Jemaat GMIH Mawlango
Sabtu, 28 September 2019
Oleh : Pdt. D. Wattimena,
S.Th